Rss Digg Twitter Delicious Facebook Stumbleupon

Kamis, 03 Februari 2011

Dia Yang Telah Di Eksekusi Mati (Versi seorang sipir penjara)

Tatkala matahari mulai terbenam, seperti biasa Harun bergegas ke mushola untuk mengumandangkan adzan maghrib. Seorang penghuni Alcatraz-nya Indonesia itu memang sangat disiplin dalam hal-hal sepeti ini.
Dengan sandal jepitnya yang sudah mulai usang dan sarung serta baju koko yang sudah match dengan karakternya, dia tidak pernah absen dalam sholat berjamaah. Pria berjenggot dan beralis tebal itu memang merdu suaranya dalam adzan dan tilawah Al-Qur’an. Semangat pria asal Jawa Tengah itu dalam hal beribadah terkadang membuat orang lain merasa iri. Sangat mengherankan bagi orang seperti dia menjadi narapidana lapas kelas I Batu, lapas yang dulunya bermukim beberapa orang-orang terkenal seperti Hutomo Mandala Putra, putra mantan Presiden Soeharto dan Amrozi cs, teroris Bom Bali I.


Sementara itu para penjaga pergi ke sel-sel menyuruh narapidana muslim untuk sholat maghrib di mushola penjara.
“Keluar-keluar, waktunya sholat!!” bentak para penjaga sambil membukakan pintu sel satu per satu.
Memang tidak semua sel dibuka kala itu, biar tertib. Jadi sholat maghrib berjamaah saja harus dibuat gantian karena cukup padatnya penghuni lapas ini, sementara mushola di penjara ini lumayan kecil.
Mushola di lapas ini sebenarnya dibangun atas usulan Harun sendiri kepada Kepala Lapas. Memang pada awalnya cukup alot, namun akhirnya terrealisasi juga karena ada sisa anggaran yang tak terpakai untuk keperluan lapas ini. Setidaknya dengan adanya mushola ini, lapas jadi tak terlihat begitu ngeri.
Lapas ini adalah salah satu dari empat lapas di pulau penjara ini yang masih bisa beroperasi sejak zaman penjajahan Belanda. Temboknya yang tinggi dengan kawat berduri serta pos penjagaan dengan penjaga bersenjata lengkap di setiap sudut menciptakan hawa merinding bagi siapa saja yang baru masuk lapas ini. Sel-selnya yang dingin dengan tembok menghitam dan ditumbuhi lumut di bagian bawahnya. Di luar lapas terpampang tulisan yang cukup besar “Mereka Bukan Penjahat Hanya Tersesat Belum Terlambat untuk Bertobat.”
Suasana di luar lapas ini justru lebih menyeramkan ketika malam hari. Lampu jalan tidak cukup terang serta jalanannya yang masih berkerikil. Di sekelilingnya dipenuhi pepohonan. Tak hanya itu, kadang-kadang binatang buas melintas di jalanan berbatu kecil tersebut.
Sudah menjadi tugasku setiap selesai sholat maghrib berjamaah, aku menyuruh warga binaan itu kembali masuk ke dalam selnya masing-masing. Kali ini aku membawa Harun kembali ke selnya. Dia masih tampak tenang seperti biasanya bahkan lebih menurutku.
Mungkin karena kemarin sempat mengunjungi keluarganya setelah mendapat izin dari Kepala Lapas. Aku sendiri merasa heran dengannya padahal besok dia akan habis masa hidupnya, namun raut mukanya tidak menunjukkan tegang atau takut sedikitpun. Justru dia lebih banyak tersenyum dan ramah terhadap penghuni lainnya.
“Hei, Harun. Besok kan kamu dieksekusi, tapi kenapa kamu sekarang tenang sekali seolah-olah besok tidak akan terjadi apa-apa?” tanyaku sinis, maklum sebagai petugas di penjara kami harus pandai-pandai memasang tampang sinis dan dingin meskipun terkadang kami merasa iba dengan mereka.
“Karena saya tidak takut dengan kematian dan yang saya takuti hanya Allah karena takdir hidup dan mati itu semuanya berada di tangan Allah,” jawabnya mantap semabri tersenyum simpul.
“Tapi apa kamu sendiri sudah siap menghadapainya?”
“Siap atau tidak siap kita harus siap menghadapinya, Pak. Dan yang bisa membuat kita siap menghadapinya adalah amalan kita karena saat kita mati tidak ada yang bisa kita bawa kecuali amal perbuatan kita di dunia. Lagipula hari ini saya masih bermimpi dan besok saya akan masuk ke dunia baru.”
Kalimat terakhir yang dia ucapkan barusan masih belum bisa kutangkap maksudnya. Sambil mengernyitkan dahi aku mau menanyainya lagi tentang kalimat terakhir tadi. Tetapi belum sempat aku menanyainya lagi dia sudah masuk selnya yang dingin dan teman kerjaku yang mengunci pintu selnya.
“Udahlah,Dit! Ngapain bengong di sini? Yuk kita ke kantin!” seru teman kerjaku itu sambil menepuk pundakku.
“ya udah, ayo!” jawabku agak kecewa.
Sesekali aku menengok ke belakang ke arah sel Harun. Kadang-kadang aku mengaguminya karena sikapnya dan kata-kata positifnya yang membuatku semakin ingat kepada Allah.
Aku juga masih ingat ketika pertama kali aku bercengkerama dengannya, sehabis sholat ashar saat pertama kalinya dia masuk ke lapas ini. Kata-katanya yang selalu kuingat itu masuk ke kalbu jiwaku yang paling dalam.
“Saya ini bukan tipe orang yang mencintai dunia, Pak. Buat apa saya mencintai hal-hal yang sifatnya sementara seperti dunia ini.”
“Hmm, memang benar kalau dunia ini hanya sementara, tapi bagaimanapun juga kita harus berusaha bertahan hidup di dunia ini karena jika tidak kita sama saja dengan mendzalimi diri kita sendiri.”
“Saya paham maksud Bapak. Di dunia ini kita memang harus berusaha untuk bertahan hidup tapi yang paling penting adalah berusaha untuk mempertahankan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Percuma saja kita bertahan hidup kalau tidak mampu mempertahankan keimanan kita. Dunia ini hanya hiasan saja, Pak. Kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika kita mati.”
“Lantas, untuk apa Allah menghidupkan kita di dunia?” tanyaku sambil memicingkan mataku.“Kita hidup di dunia ini sebagai ujian bagi kita.”
“Ujian?”
“Ya, karena Allah menciptakan manusia agar manusia beriman dan beribadah kepada-Nya. Karena itulah Allah menciptakan dunia yang penuh perhiasan-perhiasan untuk menguji apakah manusia tetap beriman kepada-Nya atau malah terpengaruh dengan dunia sehingga dia lalai hingga akhirnya menjadi kafir. Hidup kita di dunia ini adalah ujian bagi kita dan kematian adalah saat kita menerima hasil ujian di dunia.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aku merenung sejenak dan kata-katanya itu merasuk ke dalam pikiran dan hatiku yang menghitam karena dosa-dosaku.
Tiba-tiba dia meneruskan kata-katanya,”Sebagai seorang muslim kita tidak perlu takut dengan kematian justru kita harus bahagia karena saat itulah kita bertemu dengan Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang yang telah menciptakan kita.”
Tiap kali aku mengingat-ingat kata-katanya aku ingin sekali menangis namun air mataku telah mengering karena terbiasa dengan tidak menunjukkan raut muka penuh belas kasih.
Aku masih bingung dengan perkataanya yang sempat terdengar di telingaku “dunia baru”. Kepalaku masih terngiang-ngiang dengan kata-kata yang aku anggap nyeleneh itu. Apapun maksudnya aku ingin menanyakannya.
Ketika sholat subuh berjamaah di mushola hari ini telah usai, aku menemuinya. Aku duduk di teras mushola sambil menengok ke dalam mushola siapa tahu dia sudah keluar. Setalah selesai dzikir cukup lama dia berdiri dan keluar lewat pintu depan menemuiku.
“Ada apa, Pak?”
“Aku ingin bertanya kepadamu sebentar.”
“Soal apa, Pak?”
“Kemarin kamu ngomong soal dunia baru. Aku ingin tahu apa yang kau maksud soal dunia baru itu?”
“Oh, yang itu. Memang bagi saya hidup di dunia ini bagi saya adalah mimpi karena tak nyata…”
“Mimpi? Apa maksudmu?” tanyaku memotong bicaranya.
“Ya, kita sendiri tidak sadar kalau hidup di dunia yang penuh perhiasan-perhiasan di dunia ini hanyalah fatamorgana saja. Harta, tidak nyata karena tidak kita bawa ketika kita mati. Wanita, juga sama, memang menurut anda mungkin cantik tapi belum tentu menurut saya atau orang lain dia cantik. Semuanya itu fatamorgana,Pak.”
“Lalu, yang kamu maksud soal dunia baru itu?”
“Bagi saya dunia baru yang saya maksud itu adalah kehidupan setelah kematian dimana kita akan bertemu dengan Sang Pencipta kita, Allah SWT. Dunia bagi kita yang menjadi impian bagi setiap makhluk ciptaan-Nya.”
Kali ini hatiku benar-benar tersentil dengan kata-katanya itu. Aku pun mengantarnya kembali ke selnya untuk terakhir kalinya. Dia tetap saja tenang dan menjaga senyumnya. Sementara rekan kerjaku yang mengunci selnya.
Ketika surya telah lama meninggi deru mobil-mobil panser terdengar begitu kerasnya di dalam penjara. Sekitar tiga buah panser masuk ke dalam lapas. Petugas lapas yang lain telah menyambutnya dan menyiapkan keberangkatan Harun ke “dunia baru”-nya itu. Aku tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa membantu persiapan pasukan yang akan mengeksekusinya. Sementara itu Harun yang dikawal banyak polisi dan petugas lapas berpamitan kepada penghuni lapas termasuk Kepala Lapas dan petugas lapas ini.
Tak berselang lama dia mendekatiku dan berpamitan kepadaku. “Pak, saya akan pergi ke dunia baru dimana saya akan bertemu dengan Allah. Mohon maafkanlah saya jika banyak salah selama ini dan terima kasih atas bantuannya selama ini. Semoga Allah membalas budi baik bapak,” katanya dengan tersenyum sembari menyalami tanganku.
“Sama-sama, aku doakan semoga kamu bertemu dengan-Nya di dunia baru yang membahagiakan, surga. Maafkan aku juga dan terima kasih atas nasehat-nasehatnya selama ini,” aku memegang pundaknya dengan tangan kiriku dengan mata berkaca-kaca. Sementara Kepala Lapas melihatku dengan memicingkan matanya.
“Terima kasih, Pak. Assalamu’alaykum,”ucapnya sambil memberikan sebuah kertas usang ke tangan kananku.
“Wa’alaykumsalam.”
Dia pun pergi. Sembari tersenyum dia melambai-lambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan lalu naik mobil panser dengan dikawal oleh pasukan-pasukan yang mengenakan topeng kain dan bersenjata lengkap. Suasana waktu itu begitu mengharukan.
Aku seperti kehilangan saudaraku sendiri dan ingin rasanya menangis namun lagi-lagi aku harus menahannya agar aku tak kehilangan kewibawaanku di lapas ini.
Esoknya aku libur dan aku memutuskan tidak pulang ke kampung halaman. Akhirnya aku memilih berlibur di pantai Karang Balong dengan naik motorku. Indahnya pasir putih serta ombaknya yang tenang membuat hatiku terhibur. Aku membuka koran hari ini yang kulipat di bagasi motorku. Aku membaca tulisan yang tertera lumayan besar “Kemarin otak teroris Bom Dubes Amerika, Harun alias Soratmo telah dieksekusi mati.”
Tanganku gemetaran membacanya lalu aku teringat tentang sebuah kertas usang yang ia berikan kepadaku sewaktu pamitan. Aku merogohnya di saku celanaku dan aku mendapatkannya. Aku buka dan membaca tulisan disana: “Assalamu’alaykum wr.wb. Pak Didit yang selalu dimuliakan Allah ada pesan yang ingin saya sampaikan walaupun melalui kertas usang ini. Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur kepada Allah karena bertemu dengan bapak, orang yang baik akhlaknya dan semangat dalam beribadah serta mau menuntut ilmu Islam meski kepada seorang narapidana seperti saya. Pertahankanlah keimanan dan ketakwaan bapak kepada Allah karena kita sama-sama diberi kesempatan untuk meraih hidayah dan melaksanakan amal ibadah dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan diri setelah kematian menjemput. Semoga kita bertemu lagi di dunia baru, di surga-Nya yang kekal dimana kita bisa bertemu dengan Allah SWT. Terima kasih. Wassalamu’alaykum wr.wb.”
Air mataku pun mengalir dan membasahi kedua pipiku. Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena Allah telah menurunkan seorang murabbi kepadaku, yang telah memberikan oase iman pada hatiku yang telah lama mengering di penjara yang dingin. Allah telah memberikan dunia baru di kehidupanku yang miskin iman dan keras. Subahanallah tak ada yang bisa kuucapkan kecuali kalimat tauhid.

0 komentar:

Posting Komentar