Rss Digg Twitter Delicious Facebook Stumbleupon

Selasa, 27 Agustus 2013

Seperti Drama yang Ter"dramatisir"

Mandumna Holic...
Dalam beberapa hari terakhir ini saya seperti sedang terbang menerawang kebelakang, bukan membuka lembaran tentang hal-hal indah di masa lalu (saat dimana kebahagiaan lahir bathin sempat terasa; bukan karena pernah menjadi nakhoda-Red), justru saya memikirkan suatu masa dimana jalur kehidupan yang sedang menanjak itu terputus dan saya terdampar jauh ke jurang yang tak terhingga.
Pertengahan tahun 2009 ketika saya diterima menjadi mahasiswa kedokteran di sebuah universitas negeri, saya sebut disini sebagai tahap menanjak episode satu, dimana saat itu saya seperti terlahir untuk kebahagiaan (kebahagiaan karena SHALAT LIMA WAKTU LANCAR DAN MERASA TAKUT SEKALI UNTUK MENINGGALKANNYA diiringi kebahagiaan karena dapat membuat kedua orang tua saya tersenyum bahagia dengan "prestasi kecil" yang saya raih (lulus di FK dan berujung dengan IP "agak melambung" di akhir semester awal) serta sebuah kebahagiaan lain yang bersamaan dimana saya mendapatkan kepercayaan rekan-rekan di kampus untuk menjadi "ujung tombak" mereka (sebatas komting pada saat itu; semestersatu-Red). Akhir cerita, tahun itu saya lalui dengan manis (meski banyak sahabat saya yang "sedikit mencibir" karena saya belum punya pacar pada saat itu, hah!)

Oke, kita lanjut ke episode kedua yang tepatnya dimulai dari pertengahan 2010 sampai dengan awal 2011. Saya katakan episode kedua karena tanjakan yang saya lalu seperti meningkat levelnya. Disitu saya mulai "merambah" ke lingkungan kampus secara universal, dimana para kakak kelas mulai mengenal dan "memperhitungkan" keberadaan hamba mungil ini. Disitulah saya dan beberapa rekan se-angkatan mendirikan KIP (pada saat itu belum ada lembaga khusus yang ditunjuk kampus sebagai mediator pemilihan ketua himpunan, maklum kampus baru), dengan tekad kuat saya dan rekan-rekan berhasil membuat pemilihan akbar pertama yang kala itu di menangkan oleh kandidat berinisial RZ, seorang kakak kelas yang punya komitmen kuat dan tegas. *menurutsaya. Saya dan rekan tadi ikut berkelana selama satu periode bersama kabinet ini, terpilih menjadi sekbid dan ikut meramaikan aktivitas orientasi maba dengan menjadi koordinator lapangan. Episode ini juga diiringi dengan keikutsertaan saya dalam struktur BEM Universitas terpilih (disaat yang bersamaan saya juga menjadi tim sukses utk salah satu capresma Universitas yang pada akhirnya terpilih, bg D). Setengah periode lebih ikut "nimbrung" karena sesuatu dan lain hal yang akan tersambung ke episode ke 3.
 Lanjut kita ke masa-masa selanjutnya di episode ke 3, sebuah kisah penuh lika liku yang dimulai dari terpilihnya saya sebagai "nakhoda" lembaga eksekutif tingkat fakultas dan dengan mundurnya saya di keanggotaan BEM Universitas. Masa-masa akademik masih cukup stabil dalam artian masih selalu berada di "posisi" aman dalam hal IP. Dengan dibantu oleh beberapa rekan "setia" saya mulai membangun sebuah kabinet yang cukup solid (menurut beberapa orang) di awal kepengurusan. Kami tetap kompak dalam menyukseskan "keeksistensian" kampus termasuk sebuah gebrakan besar mahasiswa yang pada saat itu sedang menuntut transparansi rek**r baru, sebuah tantangan besar bagi saya dan rekan-rekan karena kami cenderung disebut sebagai tokoh muda dibandingkan aktivis dari fakultas-fakultas lain. Dikemudian hari masalah itu selesai meskipun tidak sepenuhnya tuntutan dari gebrakan ini terpenuhi.
Dan tibalah saat yang sampai saat ini sungguh saya sesali, sebuah pertemuan dengan hati yang saya pikir sebelumnya dapat memaksimalkan pendidikan maupun kinerja saya di lembaga eksekutif tersebut. Namun yang terjadi apa? saya justru terikat dan seolah kehidupan saya seperti sebuah robot yang disetting oleh majikan. Semuanya tak terkendali sama sekali (mungkin kesalahan saya juga terlalu memanjakan ataupun terlalu mengalah dengan hati itu. Saya menjadi orang yang harus menjadi "tumbal" dari semua permasalahan dari ikatan hati tersebut. Sangat-sangat tidak enak dan cenderung membuat saya melupakan kewajiban utama saya untuk belajar dan kewajiban lain yaitu mengakomodir mahasiswa di kampus (bahkan sekretariat tak terurus karena jarang terisi). Satu persatu rekan-rekan "setia" saya tadi mulai mempertanyakan dan bahkan ada yang "menjauh" dari saya. Entah apa yang terjadi, saya sadar betul ini bukan sesuatu yang tepat namun tetap saya lakukan. Hari-hari lebih banyak saya lewati dengan kehidupan "percintaan", pertengkaran dan huffffffffttttt otak saya seperti telah berhenti bekerja. Tidak tanggung-tanggung dua blok di semester berjalan saat itu saya gagal dan otomatis ip hanya satukomasekian, Subhanallaah. Dipertengahan akhir mulai timbul gejolak dengan hadirnya para "haters" yang menurut saya pantas karena mereka tidak ingin lembaga eksekutif ini hancur hanya karena seorang pemimpin yang telah berubah drastis seperti saya. Timbul berbagai isu kampus yang tidak enak untuk didengarkan, konflik mulai memanas di kalangan anggota. Para pengikut yang saya sebut "setia" tadi bahkan terpecah-pecah menjadi beberapa kubu. Ada yang memilih keluar dari keanggotaan dan ada pula yang masih bertahan untuk melanjutkan program kerja hingga akhir meski tanpa kehadiran "saya" secara maksimal (hadir tidak untuk mengakomodir, pikiran seperti tergerus hanya untuk mengurus masalah hati). Episode ini saya sebut sebagai episode empat atau episode transisi. -Sebuah kisah yang akan saya sesali seumur hidup saya-. Transisi dari saya yang di masa lalu menjadi saya yang seperti ini. Kapal yang saya kemudikan hanya indah di awal, kapal ini tenggelam bersama "KEBODOHAN" saya sampai akhir periode.
Saya ...
Kemana saya yang "fanatik" terhadap agama? Kemana janji saya pada orang tua untuk belajar yang tekun? kemana janji saya untuk memberikan yang terbaik untuk kampus seperti yang saya utarakan saat kampanye dulu? kemana rasa kesetiakawanan saya yang selalu saya agungkan di masa-masa sebelum itu? semuanya pergi seiring dengan tingkah "BODOH" saya yang hanya menjadi robot, hanya menjadi budak.
Terima kasih untuk para likers yang masih berada bersama saya sampai saat ini, terima kasih untuk para haters yang telah membuat saya mengerti hingga keluarnya tulisan ini... meski semuanya sudah terlambat.


Sekarang, setelah kurang lebih dua tahun "terikat" seperti ini saya mulai sedikit bisa meminimalisir kerugian, prestasi akademik sudah mulai terlihat walaupun sesuatu yang dinamakan image sebagai seorang aktivis itu telah hilang tak bertuan.


Pada saat saya membuat tulisan ini saya sedang dalam proses menuju sidang akhir, agak telat karena setengah dari mahasiswa angkatan saya bahkan sudah koas.
Disatu sisi, ini saya artikan sebagai anugerah karena telah membuat saya berfikir untuk lebih dewasa walau disisi lain rasa "bersalah" terus terngiang sampai saat ini.
Ampuni saya YAA ALLAH, maafkan saya ayah dan bunda, maafkan saya ...